LAZISMU Bantu Penanganan Korban Kekerasan Seksual

LAZISMU Bantu Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Salah satu asnaf yang berhak menerima zakat adalah Riqab. Secara umum, Riqab diartikan dengan hamba sahaya atau budak. Tujuan pemberian Zakat kepada Riqab adalah untuk memerdekakannya dari jeratan perbudakan. Dalam konteks masa kini, Riqab adalah orang yang  menjadi korban dari bencana sosial berupa konflik sosial dan penerapan sistem sosial yang menindas sehingga kemanusiaannya tidak diakui secara total atau secara penuh.   Masuk dalam kriteria Riqab antara lain, korban bencana sosial, penyandang masalah sosial, dan korban traficking. Riqab masa kini banyak terjadi di sekeliling kita tanpa kita sadari.

Sebagai pengelola dana zakat, LAZISMU memiliki kewajiban untuk menyelaraskan program-programnya dengan 8 (delapan) asnaf penerima zakat: Fakir, Miskin, Gharimin, Ibnu Sabil, Mu’allaf, Amil, Fiisabilillah, dan Riqab.

Saat ini, LAZISMU Wilayah Lampung sedang membantu menyelesaikan masalah terhadap korban dan keluarga korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum ustadz sebuah pondok pesantren di Pesawaran.

Kasus terkuak sejak Desember 2023. Laporan kasus mengendap di Polda. Pelaku, kabur dan bebas entah dimana. Korban, tidak ada penanganan dan pendampingan. Keluarga korban hanya bisa diam. Antara malu karena aib, terpuruk karena tertimpa musibah besar yang mengoyak rasa kemanusiaan, serta ketidakberdayaan karena kondisi ekonomi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Karena situasi yang tidak terkendali, keluarga korban terjerat jebakan rentenir masa kini (pinjaman online). Sekedar untuk bertahan hidup. Bukan untuk foya-foya dan memenuhi keinginan belaka.

Awal November 2024, keluarga korban berani speak up di media sosial. Tim LAZISMU langsung mendatangi rumah korban.

Penyelesaian hukum ditangani oleh Pengacara bantuan dari GP Anshor Pesawaran.

LAZISMU bekerjasama dengan PAC Fak. Psikologi UM Lampung melakukan sesi konseling untuk penanganan dan pendampingan korban. Hari ini, Sabtu, 16 November 2024, telah dilakukan sesi perdana. Sesi konseling untuk penanganan dan pendampingan korban, akan dijadwalkan untuk beberapa kali pertemuan.

Selain itu, LAZISMU juga membantu penyelesaian hutang keluarga korban. Jadi, selain asnaf Riqab, keluarga korban juga merupakan asnaf Gharim.

LAZISMU terus berkomitmen untuk menyalurkan dana Zakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

Kurban tapi Belum Akikah, Boleh kah?

Kurban tapi Belum Akikah, Boleh kah?

null

Banyak pertanyaan dimasyarakat apakah boleh berkurban tapi kita belum melaksanakan akikah. Secara bahasa Akikah artinya memutus, melubangi, membelah atau memotong. Secara syariat makna akikah sebagai ungkapan rasa syukur kapada Allah Swt atas karunia yang dianugerahkan. Sedangkan Kurban berasal dari kata qarraba yang berarti dekat. Secara syariat kurban artinya ibadah dalam bentuk melaksanakan penyembelian hewan tertentu dengan pengharapan dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Hukum Akikah berdasarkan pendapat rajih (kuat) yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sunah muakad. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw:

 

[مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ. [رواه أبو داود والنسائى وأحمد والبيهقي

 

Artinya: “Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya, maka hendaklah ia beribadah (dengan menyembelih binatang akikah).” [HR. Abu Dawud no. 2842, an-Nasa’i vol. 7 no. 162, Ahmad vol. 2 no.194, dan al-Baihaqi vol. 9 no. 300]

 

Adapun tentang pelaksanaannya, akikah disyariatkan pada hari ketujuh dari kelahiran anak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw:

 

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى فِيهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

[رواه الخمسة عن سمرة بن جندب، وصححه الترمذي]

Artinya: “Tiap-tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih sebagai tebusan pada hari yang ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya.” [Hadis diriwayatkan oleh lima ahli hadis dari Samurah bin Jundub, disahihkan oleh at-Tirmidzi]

 

Pendapat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi, dan Al-Thabrani dari Samurah bin Jundub: “Setiap bayi tergadai dengan akikahnya, disembelihkan (Kambing) untuknya pada hari ke Tujuh, dicukur dan diberi nama, “terangnya. (HR. Abu Dawud No. 2840; Ahmad No. 20083; Al-Damiri No. 1969; dan AL Thabrani No. 6830)

 

Akikah terikat dengan waktu kelahiran sang bayi tersebut dan tidak ada tuntutan akikah ketika sudah melebihi 7 hari kelahiran bayi, maupun seseorang tersebut telah dewasa. Sementara ibadah kurban dapat dilaksanakan setiap tahun sekali. Apabila hewan sembelihan akikah dimaksud adalah untuk akikah yang sudah lewat dari 7 hari kelahiran bayi atau mengakikahi orang dewasa, alangkah baiknya jika disarankan dialihkan niatnya sebagai hewan kurban.

Menurut Tarjih Muhammadiyah, menggabungkan niat akikah dan kurban dalam satu hewan penyembelihan tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan ketentuan yang mendasar antara keduanya, baik dari segi waktu pelaksanaan, syarat-syarat yang harus dipenuhi, maupun tata cara penyembelihannya.

 

Penegasan ini berdasarkan tidak adanya dalil Al-Qur’an atau Hadis yang secara eksplisit membolehkan penggabungan niat akikah dan kurban.

 

Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan akikah dan kurban dengan hewan yang berbeda agar terpenuhi semua ketentuan dan hakikat dari kedua ibadah tersebut.

 

 

Wallahu a’lam bish-shawab. *putm-pa)

 

Sumber : https://tarjih.or.id/hukum-akikah-mengakikahi-diri-sendiri-dan-penyembelihan-akikah-dalam-acara-kurban/

 

Kontributor : Jeni Rahma

 

+62 811-7281-196 Call Center Donasi Lazismu Lampung
7188145827 an. LAZISMU QURBAN BSI

PEREMPUAN MENYUSUI YANG TIDAK PUASA, QADHA ATAU BAYAR FIDYAH?

PEREMPUAN MENYUSUI YANG TIDAK PUASA, QADHA ATAU BAYAR FIDYAH?

Syariat Islam itu mempunyai prinsip-prinsip, di antaranya adalah menghilangkan kesulitan. Begitu pula dalam kewajiban puasa Ramadan. Puasa Ramadan merupakan ibadah wajib, akan tetapi Islam tidak lantas memberatkan, sehingga Allah memberikan rukhshah atau keringanan bagi beberapa golongan yang memang tidak bisa menjalankan puasa.

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, perempuan yang menyusui termasuk salah satu golongan yang mendapatkan rukhshah dalam pelaksanaan puasa Ramadan. Sehingga ia boleh meninggalkan puasa apabila merasa berat, karena apabila dipaksakan mungkin membahayakan dirinya dan anak yang disusuinya.

Oleh karena itu, dalam hukum syariah diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan sebagai gantinya ia wajib memberi makan seorang miskin (membayar fidyah). Hal ini berdasarkan dalil-dalil:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Quran surat al-Baqarah (2) ayat 184:

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ .

Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”2. Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ الْكَعْبِيّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ إِنَّ اللهَ عزّ و جلّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ [رواه الخمسة].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik al-Ka’bi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui” [HR. lima ahli hadis].3. Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أنَّهُ قَالَ أُثْبِتَ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ أَنْ يُفْطِرَا وَ يُطْعِمَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا [رواه أبو داود.

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi perempuan yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.” [HR. Abu Dawud]Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat diketahui bahwa perempuan menyusui yang tidak bisa berpuasa secara penuh di bulan Ramadan, maka sebagai gantinya ia harus membayar fidyah sebanyak hari-hari yang ia tidak berpuasa. Yakni memberi makan seorang miskin setiap harinya.

Majelis Tarjih melalui laman resmi fatwatarjih.or.id menegaskan bahwa perempuan tersebut tidak perlu untuk mengqadha puasanya di hari lain di luar bulan Ramadan. Adapun besarnya jumlah fidyah yang harus dibayarkan adalah minimal satu mud (sekitar 0.6 kg) atau setara dengan ukuran dan harga makanan yang ia makan sehari-hari.

Namun demikian apabila membayar fidyah tersebut memberatkan karena harus mengeluarkan biaya, sementara perempuan yang menyusui itu termasuk golongan orang yang kurang mampu, maka menurut Majelis Tarjih ia dapat mengganti puasanya dengan berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadan sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkannya.

Sumber: Fatwatarjih.or.id

ZAKAT PERDAGANGAN 2 TOKO DENGAN SALAH SATU DIKELOLA PIHAK LAIN

ZAKAT PERDAGANGAN 2 TOKO DENGAN SALAH SATU DIKELOLA PIHAK LAIN

Assalamualaikum wr wb.

Mohon maaf sebelumnya. Saya Andri,  ingin bertanya mengenai zakat perdagangan. Saya memiliki usaha dagang aksesori HP. Saya memiliki 2 toko berlainan daerah. Salah satu toko dikelola oleh adik ipar saya dengan sistem gaji tetap 3, 5 juta + bagi hasil tiap bulannya yaitu 60% ke saya : 40% untuk adik ipar saya dari keuntungan bersih setelah dikurangi hutang barang, sewa toko, kewajiban operasional lainnya dan gaji karyawan. Mengenai stok barang secara keseluruhan adalah milik saya.

Pertanyaannya :

Saat saya akan membayar zakat perdagangan ini, apakah adik ipar saya juga ikut menanggung zakat perdagangan usaha saya yang saya bayar nanti?
Mohon bantuannya.
Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Jawaban:

Saudara Andri yang baik, terima kasih atas pertanyaan Anda. Perdagangan aksesori HP yang Anda tekuni merupakan kerja-usaha yang baik. Ketentuan zakatnya diatur dalam Q.S. al-Baqarah, 2 (267): anfiqu minthayyibati ma kasabtum, tunaikanlah zakat dari  kerja-usaha kamu sekalian yang baik.  Dan pembayarannya menggunakan hitungan  haul, nishab dan nisbah.

Haul adalah satu tahun pembayaran zakat; nishab adalah ambang batas minimal harta yang dikenai zakat; dan nisbah adalah kadar prosentase zakat yang dibayarkan. Haul zakat perdagangan adalah satu tahun kerja-usaha berdagang;  nishab zakat  perdagangan adalah 20 dinar yang setara dengan 85 gram emas murni; dan nisbah zakat yang dibayarkan  adalah 2,5%.

Orang yang berkewajiban membayar zakat perdagangan adalah  pemilik sempurna harta yang diperdagangkan. Pemilik sempurna  barang-barang dagangan  di 2 toko di 2 daerah berbeda adalah Anda. Adapun adik ipar Anda hanya memiliki hak mengelola barang-barang dagangan di salah satu toko atas kuasa Anda dan bukan pemilik sempurnanya. Karena itu adik ipar  tidak ikut menanggung zakat kerja-usaha perdagangan Anda.

Jadi kewajiban membayar zakat perdagangan 2 toko aksesori ada pada Anda. Adapun kewajiban adik ipar adalah  membayar zakat profesi, jika penghasilannya dari gaji  dan bagi hasil mengelola toko Anda tiap bulan dalam 1 tahun mencapai nishab 85 gram emas di atas.
Semoga dengan ikhlas membayar zakat,  usaha perdagangan Anda berkembang sehingga Anda memiliki banyak toko aksesori di banyak daerah dan syukur juga memiliki usaha-usaha halal yang lain.

Wallahu a’lam bish shawab.

CARA MEMBAYAR HUTANG PUASA ORANG TUA

CARA MEMBAYAR HUTANG PUASA ORANG TUA

Dalam surat al-Baqoroh ayat 184 Allah berfirman:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ … [البقرة] (2): 184

“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin …” [QS al-Baqarah (2): 184].

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, jika seseorang dalam keadaan sakit atau sedang berada dalam suatu perjalanan sehingga merasa berat untuk melakukan puasa, maka boleh baginya hutang puasa dan mengganti kewajiban puasanya di hari yang lain. Kemudian sekiranya di hari yang lain pun ia tidak mampu menggantinya, disebabkan karena uzur syar‘i, maka ia bisa mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengenai qadha atau hutang puasa orangtua yang masih hidup, namun sudah tidak mampu menggantinya disebabkan suatu uzur (dalam hal ini karena sering sakit-sakitan), maka Islam memberikan kemudahan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah bukan dengan mengqadha puasa orangtua yang dilakukan oleh anak.

Selanjutnya mengenai qadha puasa bagi orangtua yang telah meninggal dunia, Majelis Tarjih dan Tajdid melalui laman resminya menyampaikan beberapa hadis sebagai berikut:

1- [عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ [متفق عليه

“Dari Aisyah ra [diriwayatkan] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa meninggal dunia padahal ia berhutang puasa, maka walinyalah yang berpuasa untuknya” [Muttafaq Alaih]. Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah tidak Bermazhab?

2- عَنِ اْبنِ عَبَّاٍس رَضِيَ اللهُ عَنْهُماَ قاَلَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيَهُ عَنْهَا؟ قاَلَ: لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ، أَكُنْتَ قاَضِيَهُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌ أَنْ يُقْضَى [رواه البخاري

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] ia berkata: Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Ya Rasulullah sungguh ibuku telah wafat padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan, apakah saya dapat berpuasa menggantikannya? Nabi menjawab: Jika seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya? Laki-laki itu menjawab: Iya. Selanjutnya Nabi bersabda: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” [HR al-Bukhari].

3- عَنِ بْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَاَةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ.فَقَالَ: أَ فَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِيْنَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ : فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌّ بالْقَضَاءِ [رواه مسلم

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] bahwa seorang wanita datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Ya Rasulullah, sungguh ibu saya telah meninggal, padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan. Lalu Nabi bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarnya ? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Nabi bersabda: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilaksanakan” [HR Muslim].

4- عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُومِي [أخرجه أحمد

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) bahwa ada seorang perempuan berlayar mengarungi lautan lalu ia bernadzar seandainya Allah menyelamatkannya ia akan berpuasa selama satu bulan, lalu Allah menyelamatkannya, tapi ia tidak berpuasa sampai ia meninggal. Lalu keluarganya datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau bersabda: Berpuasalah untuknya” [HR Ahmad].

Berdasarkan dalil-dalil dari as-Sunnah yang tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa diperintahkan bagi ahli waris untuk mengqadha puasa orangtuanya yang telah meninggal dunia karena orangtuanya belum sempat melaksanakan selama masih hidup. Mengenai cara yang tepat dalam mengganti puasa orang tua, dengan qadha oleh wali atau membayar fidyah.

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mampu mengganti hutang puasanya, maka bisa menggantinya dengan cara mengqadha pada hari lain atau membayar fidyah. Adapun bagi orang tua yang masih hidup yang memiliki hutang puasa wajib, dan ia tidak mampu menggantinya di hari yang lain, maka Allah telah memberikan kemudahan dengan cara membayar fidyah untuk menebus hutang puasa.

Cara membayar fidyah bagi orangtua yang masih hidup namun tidak mampu menjalankannya karena merasa berat adalah dengan terlebih dahulu melihat apakah orangtua tersebut memiliki harta atau tidak untuk membayar fidyah. Jika orangtua memiliki harta, maka dia harus membayar fidyah dengan harta yang dimilikinya.

Namun, imbuh Majelis Tarjih dan Tajdid, jika dia tidak memiliki harta maka anak baik dengan perorangan maupun patungan secara moral mereka diperintahkan membayarkan fidyah untuk orangtuanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk berbuat ihsannya seorang anak terhadap orangtuanya dan tidak boleh menqadhanya karena orangtuanya masih hidup.

Jika orangtua yang masih memiliki kewajiban puasa yang harus diganti telah meninggal dunia dan belum sempat menggantinya, maka yang paling utama berdasarkan dalil-dalil di atas adalah dengan cara dibebankan kewajiban puasa tersebut kepada ahli warisnya (diqadha oleh ahli warisnya).

Namun terlebih dahulu dilihat, apakah orangtua ketika meninggal dunia meninggalkan harta waris atau tidak, jika terdapat padanya harta waris, maka sebelum harta tersebut dibagikan, terlebih dahulu harta tersebut digunakan untuk membayar fidyah puasa yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hutang yang harus dibayar sebelum harta warisan dibagikan dan jelas berdasarkan hadis di atas bahwa hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayarkan.

Namun jika orangtua tidak meninggalkan harta, maka secara moral anak (ahli waris) diperintahkan mengqadha puasa atau boleh juga dengan membayar fidyah bagi orangtuanya. Namun melihat kepada hadis-hadis di atas maka yang paling utama menurut Rasulullah adalah qadha puasa yang dilakukan oleh anak (ahli waris).

Sumber: Fatwatarjih.or.id / Majalah Suara Muhammadiyah No. 22, 2016

Editor: Tri Priyo Saputro

YouTube
Instagram
WhatsApp